SEJARAH KODIFIKASI HADIST
A. Penulisan Hadits pada Periode Rasululloh SAW
Mengapa hadits tidak atau belum
ditulis secara resmi padat masa Nabi, terdapat berbagai keterangan dan
argumentasi yang kadang-kadang satu dengan yang lainnya saling bertentangan.
Diantaranya ditemukan hadits-hadits yang sebagiannya membenarkan atau bahkan
mendorong untuk melakukan penulisan hadits Nabi, di samping ada hadits-hadits
lain yang melarang melakukan penulisannya.
Pada permulaan Islam,
penulisan hadis merupakan inisiatif perorangan yang dilakukan oleh para sahabat
tertentu seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud dan
sahabat lainnya. Mereka melakukan penulisan itu dengan dasar i’tikad baik dan
dengan alasan-alasan tertentu pula. Misalnya mereka ingin menulis sabda Nabi
pada pedang mereka, seperti dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib. Mereka menulis hadis
untuk dik
irimkan kepada para sahabat yang bertempat tinggal jauh
B. Penulisan Hadis setelah Nabi Wafat
Setelah
Nabi wafat para sahabat belum memikirkan penghimpunan dan pengkodifikasian
hadits, karena banyaknya problem yang dihadapi, diantaranya timbulnya kelompok
orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak orang-orang asing/non
Arab yang masuk Islam yang tidak paham bahasa Arab secara baik sehingga
dikhawatirkan tidak bisa membedakan antara al-Qur’an dan hadits. Abu Bakar pernah
berkeinginan membukukan Sunnah tetapi digagalkan karena khawatir terjadi fitnah
di tangan penghafal al-Qur’an yang gugur dan konsentrasi mereka bersama Abu
Bakar dalam membukukan al-Qur’an.
Meskipun begitu terdapat
beberapa dokumentasi penting sebelum pengkodifikasian hadits secara resmi,
diantaranya:
1. Ash-shahifah as-shodiqoh, tulisan Abdullah bin Amr bin Ash (w. 65 H).
Tulisan ini berbentuk lembaran-lembaran sesuai namanya ash-shahifah (lembaran),
memuat kurang lebih 1000 hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya
dan kitab-kitab Sunan lainnya.
2. Ash-shahifah Jabir bin ‘Abd Allah Al-anshori (w. 78 H) yang
diriwayatkan oleh sebagian sahabat. Jabir mempunyai majlis atau halaqoh di
masjid Nabawi dan mengajarkan hadits-haditsnya secara imlak atau dikte.
3. Ash-shohifah Ash-shohihah, catatan salah seorang Tabi’in Hammam bin
Munabbih (w. 130 H). hadits-haditsnya banyak diriwayatkan dari sahabt besar Abu
Hurairah, berisikan kurang lebih 138 buah hadits. Haditsnya sampai kepada kita
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan oleh Al-Bukhori dalm
berbagai bab.
Fakta sejarah menunjukkan
bahwa pada abad pertama perkembangan hadis, sebagian perawi mencatat
hadis-hadis dari para pendahulunya, sedang yang lain tidak mencatatnya. Dalam
meriwayatkannya mereka berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya. Keadaan
demikian terus berlangsung hingga masa pemerintahan Abdul Aziz bin Marwan
C. Periode Tabi’in
Pada masa abad ini disebut
masa Pengkodifikasian Hadits (al-jam’u wa at-Tadwin). Khalifh Umar bin Abdul
Aziz (99-110 H) yakni yang hidup pada akhir abad 1H menganggap perlu adanya
penghimpunan dan pembukuan hadits, karena beliau khawatir, lenyapnya
ajaran-ajaran Nabi setelah wafatnya ulama baik dikalangan sahabat maupun
tabi’in. maka beliau intruksikan kepada para gubernur diseluruh wilayah negeri
Islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadits. Muhammad
bin Muslim bin Asy-Syihab Az-Zuhri dinilai sebagai orang pertama dalam
melaksanakan tugas pengkodifikasian hadits dari khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Diantara buku-buku yang muncul
pada masa ini adalah:
1. Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik
2. Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani
3. As-Sunnah ditulis oleh Abd bin Manshur
4. Al-Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah, dan
5. Musnad Asy-Syafi’i.
Teknik pembukuan hadits hadits
pada periode ini sebagaimana disebutkan pada nama-nama tersebut, yaitu
al-mushannaf, al-muwaththa’, dan musnad. Arti istilah-istilah ini adalah:
1. Al-Mushannaf dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam
istilah yaitu teknik pembukuan hadits didasarkan pada klasifikasi hukum fiqh
dan didalamnya mencantumkan hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’.
2. Al-Muwatththa’ dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam
istilah Al-Muwaththa’ diartikan sama dengan Mushannaf.
3. Musnad dalam bahasa tempat sandaran sedang dalam istilah adalh
pembukuan hadits yang didaarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkan hadits
tersebut.
Perkembangan pembukuan hadits
pada periode tabi’in ada 3 bentuk, yaitu sebagai berikut:
1. Musnad, yaitu menghimpun semua hadits dari tiap-tiap sahabat tanpa
memperhatikan masalah atau topiknya, tidak perbab seperti Fiqih dan kualitasnya
ada yang shahih, hasan dan dha’if. Misalnya musnad Imam Ahmad bin Hambal
(164-241 H).
2. Al-Jami’, yaitu teknik pembukuan hadits yang mengakumulasi Sembilan
masalah yaitu aqa’id, hukum, perbudakan, adab makan minum, tafsir, tarikh dan
sejarah, sifat-sifat akhlaq, (syamail), fitnah (fitan), dan sejarah (manaqib).
3. Sunan, teknik penghimpunan hadits secara bab seperti fiqih, setiap
bab memuat beberapa hadits dalam satu topic, seperti Sunan An-Nasa’I, Sunan Ibn
Majah, dan sunan Abu Dawud.
D. Periode Tabi’ Tabi’in
Periode ini masa yang paling
sukses dalam pembukuan hadits, sebab pada masa ini ulama hadits telah berhasil
memisahkan hadits Nabi SAW dari yang bukan hadits atau dari hadits Nabi, dari
perkataan sahabat dan fatwanya dan telah berhasil pula mengadakan filterisasi
(penyaringan) yang sangat teliti apa saja yang dikatakan Nabi, sehingga telah
dapat di pisahkan mana hadits yang shahih dan mana yang bukan shahih. Yang
pertama kali berhasil membukukan hadits shahih saja adalah Al-Bukhori kemudian
disusul Imam Muslim. Oleh karena itu, periode ini dengan juga disebut masa kodifikasi
dan filterisasi (Ashr Al-Jami’ wa At-Tashhih).
Pada masa ini lahir pula lahir
buku induk enam (Ummahat kutub as-sittah), yang dijadikan pedoman dan
referensipara ulama’ hadits berikutnya, yaitu:
1. Al-Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhori (194-256 H)
2. Al-Jami’ ash-Shahih li Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi (204-261 H)
3. Sunan An-Nasa’i (215-303 H)
4. Sunan Abu Dawud (202-276 H)
5. Jami’ at-Tirmidzi (209-269 H)
6. Sunan Ibnu Majah Al-Qazwini (209-276 H)
E. Periode Setelah Tabi’ Tabi’in
Pada masa abad ini disebut
Penghimpunan dan penertiban (Al-Jam’I al-Tartib), Ulama yang hidup pada abad ke
4 H dan berikutnya disebut ulama Mutaakhirin atau Khalaf (modern) sedang yang
hidup sebelum abad 4 H disebut ulama mutaqaddimin atau Ulama Salaf (klasik).
Perbedaan mereka dalam periwayatan dan kodifikasi hadits, ulama mutaqaddimin
hadits Nabi dengan cara mendengar dari guru-gurunya kemudian mengadakan
penelitian sendiri baik matan maupun sanadnya. Untuk itu mereka tidak
segan-segan mengadakan perjalanan jauh untuk mengecek kebenaran hadits yang
mereka dengar dari orang lain. Sedang ulama mutaakhirin cara periwayatan dan
pembukuannya bereferensi dan mengutip dari kitab-kitab mutaqaddimin. Oleh
karena itu, tidak banyak penambahan hadits pada abad ini dan berikuutnya kecuali
hanya sedikit saja. Namun, dari segi tekhnik pembukuan lebih sistematik dari
pada masa-masa sebelumnya.
Perkembangan teknik pembukuan
pada abad ini yakni pada abad 4-6 ialah sebagai berikut:
1. Mu’jam, artinya penghimpunan hadits yang berdasarkan nama sahabat
secara abjad (alphabet) seperti Al-mu’jam al-kabir Sulaiman bin Ahmad
Ath-Thabrani (w. 360 H). atau diartikan seperti Kamus ialah penghimpunan hadits
didasarkan pada nama Masyayikh-nya atau negeri tempat tinggal atau kabilah
secara abjad seperti Al-mu’jam al-awsath oleh penulis yang sama.
2. Shahih, artinya metode pembukuannya mengikuti metode pembukuan hadits
Shahihayn (Al-bukhori dan Muslim) yang hanya mengumpulkan hadits shahih saja
menurut penulisnya seperti Shahih Ibnu Hibban Al-bas’ti (w. 354 H) dan
lain-lain.
3. Al-mustadrok, artinya menambah beberapa hadits shahih yang belum
disebutkan dalam kitab Al-bukhori dan Muslim serta memenuhi persyaratan
keduanya, seperti Almustadrok ‘ala Shahihayn yang ditulis Abi Abdillah Al-Hakim
An-Naissaburi (w. 405 H).
4. Sunan, metode penulisannya seperti kitab sunan abad sebelumnya, yaitu
cakupannya hadits-hadits tentang hukum seperti fikih dan kualitasnya meliputi
shahih, hasan, dan dha’if, seperti Muntaqo ibn al-Jarud (w. 307 H), Syarah
ad-Daruquthni (w. 385 H) dan Sunan Al-Bayhaqi (w. 458 H) .
5. Syarah, yakni penjelasan hadits baik yang berkaitan dengan sanad atau
matan, terutama maksud dan makna matan hadits atau pemecahannya jika terjadi
kontradiksi dengan ayat atau dengan hadits lain, misalnya Syarah Ma’ani Al-Atsar,
dan Syarah Musykil Al-Atsar ditulis Ath-thahawi (w. 458 H).
6. Mustakhroj, yaitu seorang penghimpun hadits mengeluarkan beberapa
buah hadits seperti yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanad
sendiri, misalnya Mustadrok Abi Bakr Al-Isma’ili ‘ala Shahih Al-Bukhori (w.371
H).
7. Al-jam’u, gabungan dua atau beberapa buku hadits menjadi satu buku,
Al-jam’u Bayn Ash-shahihayn yang ditulis oleh Ismail bin Ahmad yang dikenal
dengan ibn al-Furat (w. 401 H).
Pada masa berikutnya abad ke 7-8 dan berikutnya disebut masa
Penghimpunan dan Pembukuan Hadits secara sistematik(Al-jam’u wal At-tandzim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar